M. Nigara
Wartawan Olahraga Senior
LAS VEGAS, jurnal-idn.com – HANYA membutuhkan waktu satu setengah menit, Jeka Asparido Saragih mampu menumbangkan Lucas Alexander, pada debutnya di octagon UFC, Sabtu (18/11/23) di UFC Apex, Las Vegas, Amerika Serikat. Jeka menang spektakuler KO dan menjadi orang Indonesia pertama yang bertarung di UFC.
Turun di kelas Featherweight Jeka tampil sebagai underdog. Meski di Indonesia, tepatnya di arena One Pride yang digelar KOBI sejak 2016 dan ditayangkan langsung oleh tvone/antv, JK, 14 kali menang, 3 kalah dan belum pernah draw. Tapi, reputasinya masih diragukan di pentas Amerika.
Lawan yang dihadapi adalah Lucas Alexander, asal Brasil, meski jumlah pertarungannya masih di bawah Jeka, tetap saja lebih diperhitungkan. Di octagon UFC, Lucas 8 kali menang dan 4 kali kalah. Di laga menghadapi Jeka, Lucas diunggulkan, 3 berbanding 1.
Bukan Jeka jika dia tak bisa mengatasi masalah. Seperti saat saya yang tahun lalu sekitar Januari-Februari mewakili Menpora, Zainudin Amali menghadiri undangan KOBI (Komite Beladiri Indonesia), dalam acara Road to UFC. Jeka, satu dari beberapa petarung MMA yang dipersiapkan KOBI ke kancah lebih besar.
Sebagai komentator tinju dan lekat dengan olahraga beladiri profesional, insting saya saat melihat Jeka, terasa berbeda. “Dia bisa besar nih. Dia memiliki kelebihan tersendiri, ” kata saya Pada Ardi Bakrie, Ketum KOBI.
Dasar-dasar untuk menjadi bintang, tercermin di diri petarung asal Simalungun, Sumatera Utara itu. Seperti di dunia tinju profesional, syarat untuk menjadi bintang khasnya dua, Good Guy (petarung yang baik) dan Bad Guy (petarung yang buruk).
Hal terkait dengan sensasi yang bisa menarik perhatian banyak pihak. Di dunia tinju, Manny Pacquiao sebagai orang baik dan Floyd Mayweather, profil yang buruk. Keduanya sangat dibutuhkan untuk membesarkan pasar tontonan. Baik dan buruk ini tidak ada kautannya dengan pribadi di luar arena pertarungan, tetapi semata-mata hanya untuk menarik perhatian. Baik dan buruk sama-sama memiliki daya sensasi yang luar biasa.
Nah, JK, sejak pertama saya bertemu, bisa digolongkan sebagai Bad Guy. Ciri-ciri konkretnya ada sikap semaunya, bicara asal ceplas-ceplos, tak mudah diatur dan sejenisnya. Petarung yang tergolong seperti itu, ketika meng-KO lawan, dia akan meledek habis-habisan. Berjoget, memaki dan sejenisnya.
Tak heran, begitu Alexander tumbang, Jeka langsung berteriak, melompat dan berjoget begitu rupa. Selain itu, Jeka sendiri memiliki speed and power sangat mumpuni. Tak heran ketika pukulan kanannya mendarat dengan telak, Alexander ambruk.
Proses panjang
Jeka yang sukses dalam debutnya di Amerika, tidak ujug-ujug, tapi proses panjang sudah dia lewati dengan baik. One Pride dan KOBI, arena di tvone dan antv adalah ajang pematangannya. Tokoh-tokoh yang terlibat di sana, juga memiliki peran tidak kecil. Saling mengisi adalah kunci kesuksesan Jeka. Selain itu, manajemennya di Amerika juga memiliki peran paling besar.
Awalnya Jeka bermain di lightweight, 135 pounds (61 kg) dan super featherweight, 130 pounds (59 kg), tapi karena posisi calon-calon lawan tinggi-tinggi, segera dialihkan ke featherweight, 126 pounds (57 kg). Pilihan manajemen yang luar biasa.
Jeka sukses dan konon dengan kemenangannya itu berhasil memperoleh bayaran USD50.000 atau sekitar Rp 770 juta. Selain itu, dia juga akan memperoleh bayaran denda 20% milik Lucas Alexander yang kelebihan berat badan. Hanya satu harapan kita, Jeka tidak over confindence (percaya diri yang berlebihan).
Bravo JK, bravo MMA, bravo KOBI…
Ekspresi Jeka Saragih setelah menang KO atas petarung Brazil Lucas Alexander. Foto: Humas.