SOLO, jurnal-idn.com – Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Ahmad Zabadi meyakinkan kepada gerakan koperasi bahwa selama puluhan tahun koperasi terbukti mampu mempertahankan eksistensi karena kekuatannya yang melekat pada rakyat sebagai badan usaha yang dikelola dengan asas gotongroyong dan kekeluargaan.
Oleh karena itu, Deputi KemenKopUKM itu menekankan agar gerakan koperasi tetap optimistis dengan berbagai kemudahan kebijakan untuk koperasi. Termasuk ketentuan mendirikan koperasi yang cukup 9 orang, terutama bagi koperasi yang pada akhirnya kemudian memilih pola Open Loop dan diawasi oleh OJK sebagaimana perbankan. Hal ini disebutnya tidak akan membahayakan eksistensi koperasi.
“Saya juga meyakini, bila RUU Perkoperasian nanti disahkan yang di dalamnya mencakup pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Koperasi, separuh penduduk Indonesia bakal menjadi anggota koperasi,” ucap Zabadi saat berdialog dengan sekitar 500 anggota koperasi, pada Silaturahmi Nasional (Silatnas) Perhimpunan Baitul Maal wa Tamwil (PBMT) Indonesia 2023 di Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (17/10/2023).
Buktinya, lanjut Zabadi, PBMT Indonesia bisa mengkonsolidasikan dana lebih dari Rp12 triliun, dengan jumlah anggota koperasi yang terus bertambah secara signifikan mencapai 3,4 juta orang. “Terlebih lagi, bila koperasi memiliki LPS, saya yakin di tingkat grass root lebih senang dan nyaman untuk simpan uang di koperasi,” kata Zabadi.
Dari perbandingan bunga simpanan saja, paling tinggi entitas keuangan lain hanya bisa memberikan suku bunga 4%, karena komponen biaya operasionalnya yang tinggi. Sedangkan koperasi bisa memberikan sekitar 7-9%, terlebih lagi dengan ada penjaminan LPS, tentu akan lebih aman dan kompetitif.
Oleh karena itu, Zabadi merasa heran bila ada insan koperasi yang justru menolak kehadiran LPS. “Orang takut menyimpan uang di koperasi karena tidak ada jaminan, takut ketika mau menarik uang ternyata dananya tidak ada. Maka, dengan adanya LPS di koperasi, ini justru akan meningkatkan daya saing dan kepercayaan terhadap koperasi,” tegas Zabadi.
Oleh karena itu, Zabadi menyebutkan bahwa koperasi tidak perlu takut bersaing dengan entitas lembaga keuangan lain, sepanjang koperasi dikelola dengan benar dan profesional.
Strategi Spin-Off Koperasi
Dalam kesempatan itu, Zabadi juga menegaskan bahwa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) tidak boleh menjalankan usaha lain di sektor riil. “Bisa saja menjalankannya, tapi dengan cara melakukan spin-off dengan cara melakukan kajian cukup terlebih dahulu dan memastikan kelayakan ekonominya,” imbuh Zabadi.
Dicontohkan, Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia (BMI) yang awalnya hanya usaha simpan pinjam, kemudian mengembangkan usaha lain di sektor riil dengan membentuk koperasi-koperasi lain. Di antaranya, Koperasi Konsumen Benteng Muamalat Indonesia, Koperasi Sekunder BMI dan sebagainya.
“Dengan skema pengembangan seperti ini, memungkinkan koperasi bisa menjadi konglomerasi. Konglomerasi koperasi hanya bisa terjadi kalau dilakukan pengembangan bisnis secara horizontal, bukan vertikal, melalui cara spin-off,” urai Zabadi.
Saat ini sudah banyak koperasi melakukan spin-off. Dan dia berharap jangan pernah melakukan spin-off dalam bentuk PT. Memang, tidak dilarang dalam bentuk PT. Tapi, kalau melakukan itu, sama saja dengan mereduksi koperasi seolah-olah koperasi tidak kompeten untuk bisnis-bisnis tertentu hingga harus berbentuk PT.
“Bagi saya, dengan spin-off dalam bentuk koperasi juga, ini bisa menjawab keraguan masyarakat atas koperasi sebagai satu entitas bisnis modern. Jadi, spin-off usaha koperasi, sebaiknya juga dalam bentuk koperasi,” ujar Zabadi.
Mulia Ginting – Erwin Tambunan
Ahmad Zabadi: Spin-off usaha koperasi, sebaiknya juga dalam bentuk koperasi. Foto: KemenKopUKM.
Artikel ini sudah terbit di govnews-idn.com