JAKARTA, jurnal-idn.com – Credit Union (CU) atau Koperasi Kredit (Kopdit) adalah koperasi di bidang keuangan. Kegiatan utamanya adalah Simpan Pinjam. Istilah Credit Union adalah terminologi yang berlaku secara internasional dan namanya sengaja dibedakan dengan Koperasi Simpan Pinjam/KSP (Saving And Loan Co-operative) karena memang gerakan ini ada penekanan prinsip kerja yang berbeda dengan KSP. Bukan hanya menekankan pada aktivitas simpan pinjamnya semata, tapi bagaimana membangun gerakan bersama untuk memperbaiki kualitas hidup, kualitas kesejahteraan, kualitas mental dan moral anggotanya dan aktivitas simpan pinjam hanya sebagai instrumennya, bukan riil tujuanya.
CU adalah gerakan masyarakat untuk menolong diri mereka sendiri dengan cara bekerjasama di antara masyarakat. Artinya kekuatan dari gerakan ini bertumpu pada kemandirian, keswadayaan dan otonom atau bebas dari intervensi lembaga apapun. CU adalah bertumpu pada kekuatan dirinya sendiri dan berfokus pada pembangunan manusianya, sehingga CU terkenal dengan sloganya ” Credit Union is not about money, but people” (CU bukan tentang uang tapi orang).
Sebagaimana gerakan koperasi sejati di seluruh dunia, koperasi itu memang bertujuan utama untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa setiap orang adalah mahkluk setara, otonom, mandiri dan merdeka. Meletakkan peran orang lebih tinggi dari modal material. Nilai dan prinsip utamanya ini setidaknya dapat kita pelajari dari gerakan koperasi pertama di Rochdale, Inggris yang didirikan tahun 1844 atau Koperasi Kredit (Credit Union) awal tahun 1848 di Westerfald, Jerman.
CU di seluruh dunia ini dimiliki oleh lebih dari 500 juta orang dan termasuk dari Indonesia. Secara organisasional, di Indonesia dikembangkan oleh Pater Albrecht Kariem Arbie S.J, seorang Pastur Ordo Jesuit pada tahun 1970-an. Saat ini anggotanya sudah meliputi 4,6 juta orang dan tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia dan tergabung di 918 CU/Kopdit di tingkat koperasi primer dan berinduk pada dua federasi organisasi di tingkat nasional, yaitu Induk Koperasi Kredit (Inkopdit) dan Puskopcuina.
Dari gerakan ini juga telah terkumpul tabungan anggota di koperasi sebesar Rp46 trilun yang berputar di antara anggotanya. Gerakan CU ini terkenal di Indonesia sebagai Gerakan Koperasi Kredit Indonesia (GKKI).
Saat ini, dari GKKI mulai lahirkan satu gerakan pengembangan koperasi di sektor riil (non keuangan). Beberapa CU di tingkat primer telah berhasil kembangkan koperasi sektor riil (KSR) yang bergerak di sektor koperasi konsumsi, koperasi pertanian, koperasi jasa non keuangan. Gerakan ini juga telah terwadahi dalam satu organisasi yang namanya Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR) yang juga dimotori oleh salah satu co-founder CU di Indonesia, Robby Tulus. (Lihat www.inkur.id).
Saya membayangkan, andaikan gerakan ini masing masing CU di tingkat koperasi primer mampu menginisiasi berdirinya KSR di sektor koperasi konsumen atau koperasi komsumsi saja, maka setidaknya akan berdiri segera 918 koperasi konsumen.
Jika satu koperasi konsumen dirikan 1 toko saja maka akan ada 918 toko. Lalu jika diasumsikan setiap toko koperasi anggotanya ada 5.010 orang sesuai dengan rata-rata anggota CU di Indonesia per koperasi primer, maka jika satu orang anggota per hari belanja di tokonya Rp10.000 saja maka akan ada penjualan sebanyak Rp50.010.000 per hari di setiap toko atau jika dihitung satu tahun adalah 360 hari dan jika dikalikan jumlah tokonya sebanyak 918 maka akan ada penjualan di setiap toko koperasi sebesar Rp18.036.000.000 per tahun atau 16.527.304.800.000 atau Rp16,5 triliun setiap tahunnya.
Jika dari setiap toko itu hasilkan keuntungan/surplus/SHU sebesar 5% saja maka akan ada SHU sebesar Rp822, 2 miliar. Jika dibagi ke seluruh anggota maka akan hasilkan SHU pada setiap anggotanya yang 4,6 juta sebesar Rp179.000 per anggota.
Selama ini uang Rp16,5 triliun larinya adalah ke minimarket atau supermarket kapitalis. Keuntungan atau SHU sebesar Rp822, 3 miliar itu lari memperkaya segelintir pemilik jaringan minimarket kapitalis.
Perhitungan itu baru dihitung dari potensi jika satu CU berhasil mendirikan satu toko. Dalam prakteknya, sebut saja misalnya satu CU yang telah berhasil mendirikan 1 koperasi konsumen dan memiliki 3 toko koperasi di Kalimantan Tengah yang bernama Koperasi Persekutuan Dayak (KPD). Toko ini keseluruhan omsetnya sudah kurang lebih Rp300 juta per hari. Satu tahun sudah Rp102 miliar. Padahal anggota CU hanya 15.000 orang. Artinya dua kali lipat jika dihitung secara rata-rata atau kalau dihitung dari belanja anggotanya sebesar Rp20.000 per orang per hari. Artinya kalau kinerja Koperasi Konsumenya baik atau setidaknya seperti di KPD maka potensi omsetnya bukan Rp16 triliun per tahun, tapi Rp32 triliun rupiah.
Sangat Besar
Potensi besar pengembangan koperasi konsumen berbasis anggota CU ini sangat besar. Apalagi secara “ideologis” CU ini relatif baik. Jaringanya termasuk yang terbaik di tingkat nasional.
Itu baru dihitung dari potensi pengembangan koperasi konsumenya. Lebih lagi misalnya CU Keling Kumang di Kalimantan Barat. Di CU ini termasuk dapat dikatakan yang paling agresif mengembangkan pemekaran (Spin Off) ke koperasi sektor riil. Saat ini mereka telah lahirkan 4 KSR, yaitu koperasi konsumen Keling Kumang Union, koperasi Keling Kumang Agro, Koperasi Jasa Keling Kumang Tampun Juan, Koperasi Petani Sawit Keling Kumang, dua yayasan yang bergerak di pendidikan dan kebudayaan dan berhasil dirikan juga Sekolah Menengah Kejuruan SMK Keling Kumang, dirikan Perguruan Tinggi Istitut Keling Kumang, lalu ada bisnis eco-tourism dan lain lain hingga 19 sektor layanan bisnis dan sosial.
Saya membayangkan, andaikan gerakan CU di seluruh tanah air mau berbodong-bondong belajar ke kedua CU di atas serta magang disana maka gerakan CU ini akan menjadi begitu dahsyat. Ekonomi sektor keuanganya akan berkembang semakin pesat dan sektor riilnya akan menggurita di seluruh sektor. Sehingga dampakmya akan hasilkan banyak peluang kerja baru, nilai tambah ekonomi lokal baru dan yang pasti kesejahteraan berkeadilan bagi rakyat banyak. Masyarakat lokal akan semakin kuat dan investasinya berputar dari oleh dan untuk masyarakat sendiri bukan lari dan disedot serta disetir oleh kepentingan investasi asing dan konglomerasi kapitalis nasional yang banyak rusak lingkungan, gusur rakyat dan memiskinkan masyarakat lokal serta menguasai nilai rantai nilai tambah ekonomi seperti yang terjadi saat ini.
Apalagi jika seluruh kekuatan intelektuil seperti orang-orang kampus dan aktivis sosial dan tokoh-tokoh masyarkat dan pemimpin opini mau mengapresiasi kelembagaan ini dan mengajak bekerjasama dengan mereka untuk kembangkan berbagai ide pengembangan. Mimpi kita menjadi negara dan bangsa besar yang kuat adalah keniscayaan.
Bung Hatta selama 10 tahun jadi Wakil Presiden, beliau setiap tanggal 12 Juli sebagai hari koperasi selalu menulis dan berpidato tentang koperasi. Secara rutin dalam pidatonya mengulas perkembangan jumlah tabungan atau modal koperasi serta stastistiknya koperasi secara umum. Di tengah kesibukkanya sebagai Wakil Presiden, selalu rajin mengevaluasi kinerja koperasi. Bung Hatta juga sangat menekankan arti penting dari CU/Kopdit dan soal menabung. Demikian juga rekomendasinya, sebagai ekonomi institusionalis dia tahu bahwa menabung di CU/Kopdit itu bukan hanya soal uang, melainkan bagaimana membangun karakter orang untuk berdisiplin diri, membangun keswadayaan diri. Kemudian dari kekuatan modal finansial dan orang baik lalu barulah dapat diletakkan dengan kokoh pembangunan koperasi sektor riil di berbagai sektor. CU dan gerakan pemekaran KSR-nya sudah on the track, seperti juga ekomendasi beliau.*
Jakarta, 1 November 2023
Suroto
Ketua Asosasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO INKUR Federation (Induk Koperasi Usaha Rakyat)
Suroto