Oleh: Suroto
Ketua Pengkajian dan Pengembangan Koperasi-LePPeK
JAKARTA, jurnal-idn.com – Setelah Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian dinyatakan Inknstitusional atau dibatalkan Mahkamah Konstitusi tahun 2014, salah satu amar putusan MK diminta kepada Pemerintah dan DPR untuk segera membuat UU baru.
Tahun 2019 RUU hampir disyahkan di rapat paripurna terakhir Parlemen. Padahal kualitasnya lebih amburadul dari UU 25 /1992 dan akhirnya kemudian dialihlanjutkan ke anggota Parlemen baru. Saat ini draft RUU yang baru masih dalam tahap pembahasan draftnya di pemeirintah. Namun membaca draft terakhirnya, lagi-lagi semangatnya ternyata tetap mengatur-atur koperasi.
UU koperasi yang benar itu seharusnya cukup sederhana dengan memberikan rekognisi/pengakuan, berikan distingsi/pembeda dan proteksi/perlindungan koperasi. Mengakui adanya praktek terbaik di lapangan dari koperasi, memberikan pembeda antara koperasi dengan korporasi dan memberikan proteksi atas nilai dan prinsip koperasi.
Banyak praktek terbaik koperasi yang semestinya diakui. Sebagai contoh adalah keberhasilan gerakan koperasi kredit (Credit Union) yang terbukti memiliki daya tahan lebih baik dengan menghindari berbagai bentuk intervensi pemerintah dan kembangkan koperasi secara natural. Ini harusnya dipelajari dan didengarkan aspirasinya.
Selain itu, ada pembedaan penting yang seharusnya diberikan seperti misalnya soal perpajakan. Di berbagai belahan dunia, koperasi kebanyakan diberikan distingsi dengan diberikan tax free (pembebasan pajak). Koperasi diberikan pembebasan pajak karena koperasi itu sudah jalankan misi pajak itu sendiri yaitu untuk keadilan. Koperasi itu secara inheren melakukan redistribusi pendapatan dan kekayaan, jadi pembebasan pajak bagi koperasi itu adalah hak moralnya koperasi.
Sebut misalnya di Singapura, di negara ini koperasi dibebaskan dari pajak, betapapun sudah kuasai pangsa pasar ritel dan asuransi dan jadi konglomerasi sosial. Mereka cukup membayarkan dana alokasi tertentu dari sisa hasil usahanya untuk dimasukkan ke lembaga Trust Fund yang diakui pemerintah. Lalu dana tersebut dikembalikan ke gerakan koperasi untuk kegiatan seperti riset, lobi dan pengembangan koperasi lagi.
Bentuk proteksi atau perlindungan yang riil bagi koperaai adalah memberikan jaminan kemurnian dari gerakan dari perilaku penyimpangan nilai dan prinsip koperasi dengan membuat sanksi yang tegas atas penggunaan nama koperasi. UU dibuat imperatif dan tegas untuk melindungi gerakan koperasi ini.
Membaca draft RUU Perkoperasian terakhir yang disusun pemerintah, isinya terlihat lebih banyak jadi rompi pengaman proyek elit yang langgar hal-hal prinsip koperasi baik sebagai perkumpulan maupun badan hukum persona ficta serta merusak otonomi koperasi.
Semangat dari UU Koperasi yang baik itu harusnya memberikan peran otonomi koperasi lebih besar dan lebih banyak memberikan delegasi pengaturanya ke dalam aturan rumah tangga koperasi dan mengurangi imtervensi pemerintah.
Koperasi itu di berbagai belahan dunia berkembang karena dihargai otonomi dan demokrasinya, bukan diatur-atur. Ini justru mengalami kemuduran jauh seperti ke jaman Kolonial. Apa-apa yang seharusnya disamakan perlakuannya dengan entitas bisnis lain tidak diberikan kepada koperasi. Sedangkan yang seharusnya dibedakan justru disamakan. Ini akhirnya mengakibatkan koperasi menjadi kerdil.
Secara keseluruhan, draft RUU yang ada sangat buruk kualitasnya. Padahal, dalam persektif membangun gerakan koperasi, suatu UU Perkoperasian itu lebih baik ditiadakan jika kualitas UU nya itu buruk.
Jakarta, 17 September 2023
Suroto