Oleh: Suroto
Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)
JAKARTA, jurnal-idn.com – Sejak jaman Kolonial hingga saat ini, struktur pelaku ekonomi Indonesia sesungguhnya masih tetap sama. Terdiri dari sebagian besar usaha mikro dan kecil kelas gurem yang bekontribusi sangat kecil terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan segelintir usaha besar yang kuasai ekonomi kita.
Masalahnya, usaha mikro dan kecil memang sengaja dibiarkan tetap gurem dan dilanggengkan terus melalui proyek pembinaan yang sesungguhnya justru maknanya jadi pembinasaan. Sementara usaha besar diberikan banyak privelege atau keistimewaan untuk mengakses sumberdaya ekonomi lebih besar. Sebut misalnya akses kredit, tax holiday dan lain sebagainya.
Menurut klasmopologi pelaku usaha dari Kementerian Koperasi dan UKM terbaru, jumlahnya 99,6% atau kurang lebih 64 juta orang. Artinya pelaku ekonomi di negeri ini hidupnya bergantung pada usaha skala mikro kelas gurem ditambah usaha kecil sebanyak 138.000 atau 0,35%. Sedangkan usaha menengah sebesar 80.245 atau 0,05% dan usaha besar sebanyak 5.600 atau 0,0006% dari total pelaku usaha.
Dalam perhitungan lebih perinci, kontribusi ekonomi dari 99,9% usaha mikro dan kecil hanya “menguasai” kue ekonomi kurang lebih 18%. Sisanya atau 82% sesungguhnya dikuasai usaha besar dan usaha menengah yang juga kebanyakan merupakan kepanjangan atau proxy dari usaha besar.
Informasi ini selama ini disembunyikan oleh pemerintah dengan menggabungkan istilah Usaha Mikro, Kecil Menengah (UMKM). Padahal sesungguhnya usaha menengah (UM) dan juga usaha besar (UB) itu yang dominan walaupun jumlahnya sangat sedikit. Harusnya pemisahanya itu adalah usaha Mikro dan Kecil (UMK) lalu Usaha Menengah dan Besar (UMB). Sehingga akan kelihatan dengan gamblang dan mudah untuk dipahami permasalahnya.
Menguntungkan Makelar Program
Usaha mikro dan kecil yang kontribusinya terhadap PDB itu hanya 18% sebetulnya dapat dilihat secara kasat bagaimana mereka itu dalam keseharian. Mereka mudah sekali rontok dan perkembangan asset dan modalnya sangat kecil. Program-program untuk menaikkan kelas dari usaha mikro dan kecil hanya menguntungkan makelar program.
Kemampuan mereka untuk ciptakan ” reserve fund” atau cadangan untuk pengembangan modalnya juga hampir tidak ada dan bahkan defisit karena kebutuhan pribadinya itu ditopang sehari-harinya oleh usaha mereka. Manajemen bisnis dan keluarga jadi satu. Ketika defisit, akses kredit satu satunya yang jadi andalan adalah rentenir yang bunganya mencekik sehingga menggerus marjin keuntungan mereka. Jadi mereka terjebak terus dalam skala mikro.
Secara data statistik kita dapat cek dari rasio kredit yang dikucurkan perbankkan. Kebijakan perkreditan kita itu untuk usaha mikro kita hanya 3% menurut Bank Indonesia. Kredit program pemerintah juga yang banyak mengambil untung justru makelar program, bukan ke kelompok usaha mikro yang mengisi hidup statistik masyarakat.
Jakarta, 14 Oktober 2024
Suroto