Jurnal-idn.com – Saat musim Pemilu datang, program bantuan sosial (bansos) selalu menjadi program primadona hampir semua partai dan kandidat legislatif dan eksekutif. Pasalnya, bansos merupakan program yang diharapkan mampu mendongkrak elektabilitas Pemilu karena sifat programnya yang langsung dirasakan secara instan.
Memang, bansos bukan barang haram, sebab asal muasal uangnya juga dari pajak yang dibayar rakyat. Kalaupun berasal dari utang negara, rakyat juga yang turut menanggung bebannya.
Khusus untuk beban utang ini memang bagi rakyat awam soal ekonomi makro terasa abstrak. Sebab sifatnya tak langsung, hanya dapat dibaca dari neraca keuangan negara. Jadi awam biasanya tak begitu peduli. Mereka mengira utang negara sebesar apapun itu tidak akan membuat negara ini bangkrut dan tidak berpengaruh terhadap keseharian mereka.
Utang publik kita per akhir September 2023 yang dirilis Kementerian Keuangan akhir Desember 2023 adalah sebesar Rp15.295,86 Triliun. Utang Pemerintah Pusat sebesar Rp7.920 Triliun, Pemerintah Daerah sebesar Rp75 Triliun, korporasi publik bukan lembaga keuangan sebesar Rp996 Triliun dan korporasi publik lembaga keuangan sebesar Rp6.305 Triliun.
Kalau digambarkan secara sederhana, posisi utang kita saat ini adalah dalam keadaan gali lobang buat jurang. Sebab, untuk membayar angsuran pokok dan bunganya itu kita harus berutang. Untuk menutup defisit fiskal rutin dan biaya pembangunan, mau tak mau harus berutang.
Setiap tahun akhirnya utang kita meningkat terus. Janji untuk menghapus utang atau menurunkan utang di saat kampanye dari para politisi akhirnya hanya jadi pepesan kosong. Dalam posisi utang yang terus meningkat, tentu berbahaya bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Apalagi jika ditambah gejolak ekonomi yang tak terkendali, utang akan membengkak secara cepat.
Beban utang yang besar tentu tidak hanya menjadi beban fiskal hari ini, tapi juga menjebak generasi mendatang. Ruang fiskal kita menjadi semakin sempit untuk mengalokasikan dana pembangunan.
Menyesatkan Masyarakat
Soal pengelolaan utang ini, pemerintah kita seringkali mengeluarkan narasi yang menyesatkan masyarakat. Utang kita diperbadingkan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Lalu hasilnya diperbandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat. Sehingga sering dijadikan bahan propaganda bahwa dengan rasio utang terhadap PDB yang lebih rendah dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat seakan utang kita masih dalam posisi aman dan lebih baik.
Padahal, posisi utang dibandingkan dengan PDB itu belum menggambarkan posisi aman dari satuh utang negara. Semestinya utang yang aman dihitung dengan kemampuan bayar dan tentu disertai daya dukung indikator ekonomi makro lainnya, seperti rasio terhadap ekspor, rasio utang jangka pendek, rasio bagian utang luar negeri, termasuk rasio utang yang dikonsesikan.
Jika dibandingkan dengan Jepang, misalnya, kualitas dan kinerja pengelolaan utang mereka jauh di atas kita. Kemampuan bayar dan indikator daya dukung stabilitas ekonomi makro Jepang jauh lebih kuat dari Indonesia. Sementara itu, juga tidak sepadan jika Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat yang mata uang dolarnya mampu menguasai dunia.
Soal tata kelola utang yang ugal-ugalan ini, kita dapat belajar dari kegagalan Srilanka. Negeri ini sebelum gagal bayar utang baru-baru ini, tingkat pendapatan per kapitanya kurang lebih sama dengan Indonesia. Namun karena tak mampu bayar utang jatuh tempo, ekonominya morat-marit.
Kebanyakan rakyat Srilanka akhirnya hanya bisa makan satu kali sehari. Kemarahan merebak di berbagai wilayah. Rakyat merangsek masuk istana Presiden. Sementara itu, negara pemberi utang, terutama China dan Jepang, tidak bersedia menjadwalkan utang Srilanka.
Seluruh pengeluaran pemerintah yang semula diharapkan menjadi stimulus ekonomi habis difokuskan untuk membayar utang. Sektor riil ekonomi masyarakat turut melambat, pemasukan dari pajak untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan juga menurun, bahkan cadangan devisanya terkuras habis dan hanya difokuskan untuk pembiayaan bagi pemenuhan importasi pangan saja.
Pengeluaran rutin pemerintah dan pembangunan mandek. Akibatnya, ekonomi masyarakat ikut stagnan. Pengangguran meningkat, daya beli masyarakat turun dan kemiskinan meningkat.
Bansos Mematikan Versus Memberdayakan
Bansos itu memang bukan barang haram, namun konsep yang diterapkan secara serampangan dan karitatif hanya demi kepentingan mengejar elektabilitas dalam Pemilu itu bentuk penghinaan rakyat. Banyaknya kartu bansos yang diberikan kepada rakyat kecil saat ini selain menebalkan kemiskinan rakyat juga hanya menjadi pertanda atas kesalahan fatal mengelola tata ekonomi kita.
Apalagi ketika bansos itu akan diwujudkan untuk proyek makan siang gratis yang disampaikan oleh salah satu kandidat Capres-Cawapres, Prabowo-Gibran dalam kampanye baru baru ini. Selain menghina rakyat tentu rawan korupsi dan tidak tepat sasaran. Lagi, urusan makan itu tak dapat disamakan seleranya ke semua orang. Makanan itu menyangkut soal selera yang setiap orang berbeda-beda.
Bansos tetap harus ada di anggaran fiskal kita. Tapi itu ditujukan untuk mereka yang sungguh-sungguh tak berdaya seperti yang sedang terkena bencana. Bansos programatik di banyak sektor yang jumlahnya ratusan triliun setiap tahun alangkah bijaksana jika dijadikan satu sebagai alokasi Pendapatan Minimum Warga/PMW (universal basic income).
PMW itu konsepnya adalah dibagi rata sama ke semua warga tanpa kecuali, termasuk Presiden. Soal kemudian seorang Presiden itu tidak mau menerimanya, secara teknis tinggal dikembalikan ke kas negara.
Konsep PMW ini tujuanya untuk memastikan bahwa tidak ada satupun warga negara yang lapar. Konsep ini juga untuk menghidari penyimpangan atau salah sasaran. Selain itu untuk menghapus politisisasi Bansos setiap Pemilu datang. Lebih dari itu semua, adalah untuk membangun martabat rakyat.
Setelah semua orang dipastikan tak ada yang lapar, maka kelompok miskin aktif (active poor) atau mereka yang masih memiliki kemampuan untuk berusaha sesungguhnya pemerintah cukup memberikan akses terhadap permodalan dan membuka seluas luasnya kesempatan mereka berusaha dengan kebijakan afirmatif terhadap mereka yang selama ini dilemahkan secara struktural.
Rakyat, sebagai pemegang kedaulatan negeri ini akan merasa dihormati dan dihargai bukan dengan disantuni. Konstitusi kita jelas, kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat juga paham, makan siang gratis yang ditopang dengan pajak dan utang justru mematikan. Jadi jangan politisisasi bansos.
Jakarta, 12 Januari 2024
Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
Suroto