The hottest news from everywhere for everyone!

‘Mafia Makan Gratis’

Jurnal-idn.com – Aku sudah menunggu di lobi hotel ini sekitar sejam. Tapi orang yang ingin menjemputku belum juga muncul. Aku telah menghabiskan dua gelas kopi yang kupesan dari restauran hotel. Kesabaranku mulai dibatasi kejenuhan. Tak ada tanda-tanda kemunculan orang yang akan menjemputku seperti pesan email yang aku terima beberapa hari lalu.

“Halo….maaf, apakah anda Mas Seno?,” tanya seorang laki-laki muda yang tiba-tiba menghampiriku. Aku tidak tahu siapa dia, tapi gayanya yang kasual itu meredakan keteganganku menunggu selama ini.

“Ya, saya. Bagaimana?,” jawabku singkat sembari balik bertanya. Aku pikir dia orang yang akan menjemputku seperti di pesan email.

“Begini Mas Seno, saya ingin sampaikan pesan itu….,” jawabnya singkat. Dia berbisik padaku. Intinya aku diminta untuk mengikuti saja perintahnya.

Aku tadinya ragu ragu. Tapi ketika dia tunjukkan tanda péning itu aku langsung mempercayainya. Semua sesuai pesan yang kuterima melalui email.

Aku ikuti saja kemauan orang ini. Betapapun hatiku dongkol. Laki-laki itu kulihat segera perintahkan seseorang yang berdiri di depan pintu hotel untuk segera mengambil mobilnya. Mobil Avanza itu membawa kami meluncur kencang melewati jalan tol. Aku duduk berdua di belakang dengan laki-laki itu. Kami tak berbicara sepatah katapun sejak dia sampaikan pesan tadi.

***
Aku nikmati laju mobil. Pikiranku melayang-layang ke masa lalu. Waktu begitu cepat berlalu. Semua telah berubah sangat cepat. Semua yang dulu aku cita-citakan telah tercapai.

Cita-citaku di masa kecil yang ingin aku realisasikan saat sekolah, murid-muridnya berbahasa Indonesia. Hal itu telah aku raih. Teman-temanku di sekolah SMPN 1 Merauke, semua hari-hari berbahasa Indonesia. Lalu cita-citaku untuk menggeser ranking di kelasku dari ranking pararel 1-2-3 dari keseluruhan murid kelas 3 menjadi ranking 3 di SMP pernah aku capai. Waktu SMA aku ingin menggeser ranking-ku di kelas dari ranking 48 dari 49 murid menjadi ranking 1 juga pernah aku raih. Keinginanku untuk kuliah di fakultas ekonomi juga aku telah capai, walaupun harus aku tempuh hampir 10 tahun.

Ayahku yang melihat kemampuanku berdebat pernah juga katakan satu hal. Kelak diriku baiknya tinggal di Jakarta karena aku dianggap punya kemampuan untuk perang urat syaraf. Tempat yang tepat untuk perang urat syaraf itu katanya di kota Jakarta. Pesannya hanya satu, pegang prinsip seperti memegang nyawaku sendiri, kata ayahku.

Benar saja. Entah angin apa yang membawaku ke Jakarta ini. Saudara tak punya. Koneksi tak ada, tapi kemauanku begitu kuat untuk tinggal di Jakarta ini. Semua lika-liku hidup di Jakarta selama ini telah aku jalani. Kadang kala kebosanan muncul, tapi selalu saja pesan ayahku itu muncul. Jakarta adalah tempat yang tepat untukku.

Soal perjuangan untuk hidup ini, aku juga punya pesan tertulis yang kuat dari Bung Syahrir, pahlawan idolaku satu ini. Dia katakan “berbuatlah untuk rakyat, dan jangan pernah takut lapar”. Kupikir benar juga omongannya. Hingga hari ini aku tak pernah melamar kerja atau mencari pekerjaan, aku hanya bangun koperasi untuk masyarakat, tapi kenapa aku belum pernah kelaparan? Selalu saja ada rejeki yang kudapat untuk bertahan hidup sebatang kara di Jakarta dengan cara menolong orang lain. Dengan kapasitas yang kumiliki.

Aku maknai hidup ini sebagai hal yang sangat serius. Hidup tentu bukan urusan lapar atau makan semata. Aku ingin hidup ini memiliki arti dan berguna untuk orang banyak. Ingatanku juga selalu tertuju pada satu kalimat magis yang pernah kubaca di satu buku, entah tulisan siapa aku lupa. Begini bunyinya, “kelak apa yang kamu sesali itu adalah bukan karena hal hal yang telah kamu kerjakan. Tapi hal hal yang tak pernah kamu lakukan”.

“Maaf Mas, kita sudah sampai”. Tersentak aku dari lamunan mendengar laki-laki muda di sampingku bicara.

Di mana aku sekarang sungguh aku benar-benar bingung. Ternyata kewaspadaanku yang buruk ketika naik kendaraan itu telah membuatku tak dapat membaca posisi di peta bumi mana aku saat ini. Aku diantar masuk ke rumah kecil yang sederhana tapi lumayan asri. Ada kebunnya di halaman. Tapi perasaanku tetap katakan jika aku masih di Jakarta.

“Halo mas, selamat datang, silahkan duduk”. Laki-laki yang berperawakan tinggi itu mempersilahkanku duduk. Orang ini hari-hari ini begitu terkenal di seantero republik. Wajahnya masuk di media setiap hari.

Aku seruput teh yang baru saja disajikan untuk melepaskan ketegangan.

“Mas, apa saranmu untuk melakukan perubahan penting ini,” tanyanya to the poin seperti pesan dia di email.

“Begini mas, ini sudah saatnya ide-ide besar dimulai, disampaikan. Jangan pernah sia-siakan kesempatan. Ini adalah saat yang tepat, saya ingin kamu muncul berikan shock therapy ke rakyat kita yang selama ini terlena oleh rayuan elit politik yang berkongkalikong dengan mafia mafia itu. Mereka itu harus disadarkan kalau sistem ekonomi yang berjalan saat ini itu semu. Rakyat jangan sampai mau dikelabui lagi dengan cara-cara lama yang terus mencekoki dengan model pembangunan infrastruktur dan kartu-kartu bansos dengan sumber pajak rakyat dan utang menggunung itu lagi. Jangan biarkan strategi wali kota gila taman itu hancurkan masa depan bangsa ini mas,” jawabku letterlijk tanpa basa-basi.

“Rakyat itu tidak bisa kita biarkan dibodohi dengan makan gratis, dan bansos bansos itu. Mereka itu manipulatif sekali. Membodohi rakyat. Saatnya rakyat ditempatkan sebagai yang berdaulat,” sambungku.

“Tapi bagaimana mas? Kondisi rakyat kita saat ini kan memang sebagian besar sudah terninabobokkan dengan kartu-kartu bansos itu,” jawabnya.

“Ya, itu masalahnya. Tapi katakan saja dengan tegas kalau kartu-kartu kemiskinan itu adalah bentuk penghinaan rakyat. Makan siang gratis itu adalah bentuk penghinaan rakyat. Penghinaan kedaulatan rakyat. Katakan saja dengan tegas kalau kartu-kartu untuk rakyat miskin itu adalah bentuk kebobrokan dari cara mengelola ekonomi kita selama ini. Kartu-kartu bansos yang banyak itu hanya akan membuat kemiskinan rakyat banyak itu semakin tebal,” jawabku bersemangat.

“Tapi mas, apakah itu tidak akan menjadi bumerang untuk kampanye kita? Rakyat kan sebagian besarnya itu memang mudah dibodohi dengan kartu kartu miskin itu,” timpalnya menggebu-nggebu.

“Adalah Uang Rakyat”

“Begini mas, itu mudah saja. Sampaikan bahwa bansos yang diberikan kepada rakyat itu adalah uang rakyat. Selama ini uang itu diambil dari rakyat yang hidupnya sudah tercekik. Sampaikan kalau makan gratis untuk rakyat dengan uang yang bersumber dari pajak itu sama dengan bantuan mematikan,” jawabku setengah ikut menggebu-nggebu juga.

“Sampaikan kalau makan gratis yang mereka janjikan itu adalah bentuk pembodohan. Ajak rakyat saatnya bangkit dari tidur panjang karena bansos. Janjikan bahwa dengan kepemimpinanmu itu seharusnya rakyat kuat dengan janji buat Undang-Undang untuk pembagian saham untuk rakyat. Saatnya ekonomi gotong royong itu dimulai. Saatnya jalan tol yang dibangun itu juga dimiliki oleh rakyat yang punya tanah di kanan kiri jalan tol. Bukan singkirkan mereka dari kue ekonomi negara ini. Saatnya BUMN dan BUMD juga dinikmati oleh rakyat langsung,” tandasku.

“Kalau rakyat bertanya bagaimana caranya, bagaimana mas,” tanyanya lagi.

“Jawab dengan tegas, pakai sistem koperasi. Sistem ekonomi gotong royong ini. Ajak rakyat yang ada di daerah pembangunan infrastruktur atau proyek apapun itu di seluruh pelosok tanah air untuk bentuk koperasi, dan katakan jika pemerintah kelak hanya perbolehkan investasi yang berikan keuntungan buat rakyat. Katakan bahwa hanya investasi yang untungkan rakyat yang boleh dilalukan dan boleh tinggal di republik ini,” jawabku tegas.

“Tapi mas, semua itu nanti pasti akan mendapat tentangan dari konglomerat konglomerat itu,” tanyanya lagi.

“Jawab tegas lagi mas, bahwa dengan berbagi, dengan sistem koperasi, dan sistem ekonomi gotong royong itu tidak membuat orang kaya jatuh miskin. Katakan kalau sistem ekonomi berbagi itu akan membuat pebisnis bisnisnya langgeng, tidak ada lagi protes rakyat karena rakyat terlibat. Tidak ada yang perlu dikawatirkan. Saatnya mereka juga diajak membangun bangsa ini, bukan hanya mengeruk isi bumi dan nemeras keringat rakyat kecil,” jawabku.

“Tapi mas…bagaimana nanti,” tanyanya lagi.

“Maaf mas, tidak ada nanti nanti. Ini kesempatan terbaik. Kesempatan ini jangan disia-siakan. Kalau tidak dilakukan, maka tidak ada cerita lagi. Rakyat akan terus jadi bulan bulanan mafia,” jawabku menutup diskusi.

Pembicaraan itu berakhir. Kami lalu duduk termenung berdua di ruang tamu yang kecil dan sederhana itu. Tidak lama lalu aku pamitan dan diantar oleh laki-laki muda tadi.

Kami hanya duduk diam di jok belakang. Mobil ini mengantarkanku kembali ke hotel, tempat aku di jemput tadi. Kami berdua hanya duduk terdiam tanpa secuil kata terucap hingga sampai di hotel lagi.

Jakarta, 11 Januari 2024

Suroto

Suroto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *